Sabtu, 25 Agustus 2007

Tak mau kembali

Di suatu tengah hari yang penat Ni Nongke yang sehari-harinya sebagai karyawan swasta itu mendadak lemas begitu membaca surat bahwa suaminya yang sedang bertugas di Aceh itu terpaksa kehilangan kedua kakinya akibat kena peluru dalam pertempuran.
“Apakah adik mau menerima uda yang sudah cacat ini?” itulah ungkapan terakhir yang ia baca dalam suratnya.
Selama hampir enam bulan Ni Nonke merasa kesepian. Namun, akhir-akhir ini terdengar berita bahwa ia berselingkuh dengan teman sekantornya.
Suatu malam pacar Ni Nonke apel ke tempat kosnya. Begitu sang pacar melihat foto yang dipajang di kamar ni Nongke ia terpana, lalu berkata.
“Wah, mirip kawanku yang pernah kuceritakan itu. Kasihan sekali katanya ia cacat tertembak musuh.”
Ni Nongke hanya terdiam. Lalu pacarnya itu kembali bercerita.
“Katanya ia tak akan kembali karena istrinya tidak mau menerimanya lagi. Oh ya, gimana kabar suamimu?.
“A..aku tak tahu, Mas..” wajahnya dingin.

Pertanyaan Engku Keling

Selama seminggu berturut-turut menjelang pernikahan, si Ma’ruf seorang calon marapulai, sering ikut berjamaah sholat di surau dekat rumahnya.
Ketika hari pernikahannya tiba, si Ma’ruf ditanya oleh Engku Kaling yang akan menikahkan mereka.
“Apakah kamu suka sembahyang?”
“Ah!, masa Engku lupa. Yang suka ikut berjamaah dekat Engku itu kan saya, Engku?.
“Oh ya, Engku ingat. Kamu yang suka mendahului iman kan?”.
Yaah, itu kan minggu lalu. Mulai kemarin tidak lagi, kan?.”
“Adakah kamu bisa baca Qur’an?”
“Nah, itu lah masalahnya Engku, paman saya memang guru mengaji, tapi karena sejak kecil saya hidup di lingkungan pasar, saya jadi tidak ingat lagi huruf-hurufnya”.
“Kalau begitu pernikahan kalian ditangguhkan sampai kamu pandai baca Quran”.
Alamaa...!. Mana aku tahan...!”

Don't try this at home

Sepulang dari surau, si Man seorang anak berumur 7 tahun singgah dulu di rumah kawannya.
Ketika sampai di rumah tetangganya ia langsung saja ikut menonton acara Smack Down yang ditayangkan di salah satu televisi swasta.
“Bang, apa artinya bahasa Inggris tu, Bang?”, si Man bertanya kepada abang kawannya yang sama-sama ikut menonton.
“Jangan coba-coba permainan ini dilakukan di rumah..”
“Iya Bang!?. Tapi aku sering melihat di rumah?”, ia bertanya lagi.
“Emang di rumahmu ada tivi, Man?”
“Tidak ada, laah. Tapi aku pernah melihat ayah dan ibuku melakukannya. Tapi, aku disuruhnya cepat-cepat pergi ke luar”
“Wah, hebat orang tuamu, Man. Siapa yang menang?”
“Ayahku…”
Di antara penonton yang kebanyakan anak-anak itu, hanya si Abang yang tertawa terbahak-bahak, yang lainnya sama sekali tidak mengerti.

Terpaksa dikawinkan

Dalam suatu seminar nasional tentang hak-hak perempuan, seorang tokoh perempuan dengan bangga menyatakan bahwa di Minangkabau saat ini tidak terdengar lagi ada orang tua yang melakukan kawin paksa seperti pada kisah zaman Siti Nurbaya.
Bunyi tepuk tangan penoton yang kebanyakan kaum perempuan itu menjadikan suasana di aula itu semakin meriah.
Seorang moderator yang memandu acara seminar tersebut mempersilakan seorang penanya untuk berbicara.
“Istilah kawin paksa memang sudah lama kita tak mendengar lagi, tapi yang terpaksa dikawinkan saat ini semakin sering terdengar. Menurut Ibu, mana yang lebih baik?.”
Mendengar tanggapan seperti itu suasana seminar pun menjadi hening, sekali-kali terdengar suara cekikikan dua orang pria yang sedang mengobrol dari arah belakang.
“Ya tergantung…”, jawab ibu pemakalah singkat.

Oh, tante Mun...

Tidak seperti biasanya, sudah tiga hari ini Maemun tidak keluar rumah. Sejak kedatangan kakak iparnya dari Jakarta ia tampak gelisah saja. Setiap hari kerjanya hanya duduk di depan telpon sambil mengutak-atik HP-nya. Sesekali terdengar suaranya.
“di rumah Gua lagi ada tamu”, katanya dengan dialek Betawi.
“Kedatanganku ke sini mau minta tolong sama kamu, Mun. Aku mau menitipkan si Rika anakku, biarlah ia melanjutkan kuliahnya di sini saja. Kamu kan tahu bagaimana pergaulan di ibu kota besar?. Aku dan Uda sangat mencemaskannya.”
“Jangan khawatir Kak, aku akan menjaganya, kebetulan aku tinggal sendirian.”
Malam itu, di hari ke tiga, tante Mun pulang terlambat. Telpon terus berdering-dering. Kakak iparnya yang ditinggal sendiri di rumah begitu mencemaskan Maemunah hingga tak bisa tidur sampai ia kembali lewat tengah malam.
Pagi harinya tante Mun bangun telat, tetapi ia tak melihat lagi kakaknya berada di rumahnya. Sebuah surat diletakkan di sudut meja kecil.
…Mun, aku harus segera kembali ke Jakarta. Akan kupikirkan lagi niatku itu. Oya, ada pesan dari Om Dodi dan Om Herry; temui mereka nanti malam katanya…
“Astaga!, apa mungkin ia mengetahui pekerjaanku sebenarnya”.
Tante Mun, yang sudah tak asing lagi bagi polisi pamong praja dan sering keluar masuk tempat rehabilitasi itu, terlihat lemas.

Percaya atau tidak...

Karena ditegur tidak boleh memakai sandal jepit di dalam kelas, seorang mahasiswa berani mengacam dosennya.
“Ibuk bisa saya berhentikan.” Ia berbicara keras sambil menunjuk ke arah mukanya.
“…Jangankan Ibuk, dekan pun bisa kami berhentikan”. Lanjutnya sambil emosi.
“Wah, hebat Saudara.” Jawab dosen itu cukup tenang, lalu ia menambahkan.
“Saudara tahu tidak. Untuk menjadi seorang dosen itu cukup sulit. Bagi saya lebih mudah menjadi seorang bupati atau gubernur!”
“Huuh...!, saya tak percaya.” Jawab mahasiswa itu sambil mencibir.
“Oya!. Apakah Saudara pikir saya juga percaya pada kata-kata Saudara?.”
Mahasiswa itu melirik ke kanan dan ke kiri mencari simpati dan dukungan dari teman-temannya. Tapi, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Lalu, ia pergi meninggalkan kelas dengan muka kesal.

Gara-gara barang titipan

Persaingan antar dua keluarga yang saling bertetangga itu sudah lama terdengar. Hal itu terjadi, biasanya bermula dari permasalahan yang sepele hngga sering menjadi suatu keributan.
Keluarga Buk Mai tidak suka kalau tetangganya memiliki barang-barang baru. Keluarga Buk Min, tetangganya, sebenarnya tak berniat memanas-manasi Buk Mai.
Suatu hari Buk Min ketitipan barang milik kakaknya karena mau pindah kontrakan. Sambil menunggu mendapatkan rumah kontrakan baru, ia menitipkan barang-barangnya kepada Buk Min.
Karena Buk Mai merasa iri, ia mendesak suaminya untuk membeli barang-barang baru yang jenisnya lebih bagus daripada yang dibeli Buk Min, pikirnya.
“Wah, banyak sekali belanjaannya, Buk?” kata Buk Min.
“Jangan gitu, ah. Ibu juga!”
“Oh tidak, ini semua hanya titipan kakakku”
“Apa..!”

Kebijakan kabinet 'karo'

Menanggapi terjadinya kenaikan harga BBM, minyak goreng, dll yang terus merangkak, seorang pengamat ekonomi daerah berani berkomentar; bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat tersebut secara serempak hanya dapat dilakukan oleh sebuah pemerintah yang kuat atau yang otoriter. Selain itu, dapat juga dilakukan oleh suatu pemerintahan yang sedang panik.
Seorang wartawan senior mencoba memancing sang pengamat tersebut dengan pertanyaan;
“Kalau begitu, jika memang karena pemerintah kita sedang 'panik' dapat diibaratkan seperti sekelompok kera yang sedang dikejar-kejar harimau. Meloncat-loncat tak menentu.”
“Yaa, secara lahiriah memang agak mirip”. Ia setuju.
“Tetapi, harimaunya bukan harimau Sumatera, kan, Pak.!”. Sambungnya
“Bukan!. Harimau piaraan Amerika, ha ha...”. Ia mengakhiri komentarnya.
"Ooh, kami paham, Pak!". Wartawan itu pun tertawa sambil menyebut salah satu lembaga keuangan internasional.

Pakar instan

Ternyata istilah ‘instant’ saat ini bukan saja populer pada jenis makanan atau mode pakaian tetapi juga pada bidang pendidikan dan keahlian.
“Ceritanya begini…”. Kata seorang petugas protokoler. Lalu, ia bercerita bahwa ada seorang pejabat yang memiliki posisi yang cukup penting di kantornya. Ketika ada diskusi masalah hukum, ia kasak-kusuk menyiapkan waktu agar diberi kesempatan untuk berbicara seolah-olah ia seorang pakarnya di bidang hukum, ketika ada diskusi mengenai otoda, sastra, masalah pendidikan, dan lainya, ia pun turut berbicara seolah-olah ia memang pakarnya di bidang-bidang tersebut.
“Lalu, kalau ada diskusi masalah perselingkuhan?” tanya temannya.
“Sudah pasti lah, ia pun akan turut berbicara seolah-olah pakarnya di bidang persel…., Ah!, yang ini mungkin tidak ikut”. Ia tidak begitu yakin.
“Mengapa?”
“Sebab nanti orang akan berpikir yang tidak-tidak, bukan!”.
“Ooh, lai tahu mah pikiran urang”

Guru juga manusia...

Meskipun Pak Amir Bakri sudah melalukan simulasi bagaimana caranya menghadapi gempa di sekolah yang ia bina, selama 2 kali atau lebih, tapi ia masih juga kebingungan menghadapi gempa yang terjadi akhir-akhir ini di daerahnya.
Pak Bakri adalah seorang wakil kepala sekolah yang telah dipercaya oleh kepala-kepala sekolah SD yang ada kompleksnya untuk membina olah raga, kesenian, dan kegiatan-kegiatan ektrakurikuler, termasuk kegiatan pembinaan dalam menghadapi gempa. Ketika gempa terjadi akhir-akhir ini para guru dan para siswa berhamburan keluar tanpa terkontrol, tidak ada insturksi apa-apa dari pihak sekolah, sebagian berteriak memanggil-manggil namanya. “Mana Pak Bakri, mana Pak Bakri”. Ternyata ia sudah menghilang duluan, entah kemana perginya dengan motornya yang sudah butut itu.
Ternyata, meskipun tuntutan para guru untuk menaikan gaji sudah dipenuhi, tapi yang namanya mental dan prilaku itu ternyata susah diubah.
Keesokan harinya ia datang pagi-pagi sekali dengan cerita-cerita bualannya. Katanya, ia terpaksa pulang cepat karena teringat orang tuanya sudah yang sudah tua itu (ya..yang namanya orang tua itu pasti tidak muda lagi, kan!).
Rupanya anak-anak kelas enam yang merasa sudah akrab itu, serentak menyanyikan lagu dari group Serieus, dengan syair yang sudah ditukar. “Guru juga manusia, punya anak dan mertua, janganlah disamakan dengan kami ini…”. Maka wajahnya pun langsung tampak garang. (Bakri… Bakri sial amat nasib, lhu.)