Sabtu, 25 Agustus 2007

Tak mau kembali

Di suatu tengah hari yang penat Ni Nongke yang sehari-harinya sebagai karyawan swasta itu mendadak lemas begitu membaca surat bahwa suaminya yang sedang bertugas di Aceh itu terpaksa kehilangan kedua kakinya akibat kena peluru dalam pertempuran.
“Apakah adik mau menerima uda yang sudah cacat ini?” itulah ungkapan terakhir yang ia baca dalam suratnya.
Selama hampir enam bulan Ni Nonke merasa kesepian. Namun, akhir-akhir ini terdengar berita bahwa ia berselingkuh dengan teman sekantornya.
Suatu malam pacar Ni Nonke apel ke tempat kosnya. Begitu sang pacar melihat foto yang dipajang di kamar ni Nongke ia terpana, lalu berkata.
“Wah, mirip kawanku yang pernah kuceritakan itu. Kasihan sekali katanya ia cacat tertembak musuh.”
Ni Nongke hanya terdiam. Lalu pacarnya itu kembali bercerita.
“Katanya ia tak akan kembali karena istrinya tidak mau menerimanya lagi. Oh ya, gimana kabar suamimu?.
“A..aku tak tahu, Mas..” wajahnya dingin.

Pertanyaan Engku Keling

Selama seminggu berturut-turut menjelang pernikahan, si Ma’ruf seorang calon marapulai, sering ikut berjamaah sholat di surau dekat rumahnya.
Ketika hari pernikahannya tiba, si Ma’ruf ditanya oleh Engku Kaling yang akan menikahkan mereka.
“Apakah kamu suka sembahyang?”
“Ah!, masa Engku lupa. Yang suka ikut berjamaah dekat Engku itu kan saya, Engku?.
“Oh ya, Engku ingat. Kamu yang suka mendahului iman kan?”.
Yaah, itu kan minggu lalu. Mulai kemarin tidak lagi, kan?.”
“Adakah kamu bisa baca Qur’an?”
“Nah, itu lah masalahnya Engku, paman saya memang guru mengaji, tapi karena sejak kecil saya hidup di lingkungan pasar, saya jadi tidak ingat lagi huruf-hurufnya”.
“Kalau begitu pernikahan kalian ditangguhkan sampai kamu pandai baca Quran”.
Alamaa...!. Mana aku tahan...!”

Don't try this at home

Sepulang dari surau, si Man seorang anak berumur 7 tahun singgah dulu di rumah kawannya.
Ketika sampai di rumah tetangganya ia langsung saja ikut menonton acara Smack Down yang ditayangkan di salah satu televisi swasta.
“Bang, apa artinya bahasa Inggris tu, Bang?”, si Man bertanya kepada abang kawannya yang sama-sama ikut menonton.
“Jangan coba-coba permainan ini dilakukan di rumah..”
“Iya Bang!?. Tapi aku sering melihat di rumah?”, ia bertanya lagi.
“Emang di rumahmu ada tivi, Man?”
“Tidak ada, laah. Tapi aku pernah melihat ayah dan ibuku melakukannya. Tapi, aku disuruhnya cepat-cepat pergi ke luar”
“Wah, hebat orang tuamu, Man. Siapa yang menang?”
“Ayahku…”
Di antara penonton yang kebanyakan anak-anak itu, hanya si Abang yang tertawa terbahak-bahak, yang lainnya sama sekali tidak mengerti.

Terpaksa dikawinkan

Dalam suatu seminar nasional tentang hak-hak perempuan, seorang tokoh perempuan dengan bangga menyatakan bahwa di Minangkabau saat ini tidak terdengar lagi ada orang tua yang melakukan kawin paksa seperti pada kisah zaman Siti Nurbaya.
Bunyi tepuk tangan penoton yang kebanyakan kaum perempuan itu menjadikan suasana di aula itu semakin meriah.
Seorang moderator yang memandu acara seminar tersebut mempersilakan seorang penanya untuk berbicara.
“Istilah kawin paksa memang sudah lama kita tak mendengar lagi, tapi yang terpaksa dikawinkan saat ini semakin sering terdengar. Menurut Ibu, mana yang lebih baik?.”
Mendengar tanggapan seperti itu suasana seminar pun menjadi hening, sekali-kali terdengar suara cekikikan dua orang pria yang sedang mengobrol dari arah belakang.
“Ya tergantung…”, jawab ibu pemakalah singkat.

Oh, tante Mun...

Tidak seperti biasanya, sudah tiga hari ini Maemun tidak keluar rumah. Sejak kedatangan kakak iparnya dari Jakarta ia tampak gelisah saja. Setiap hari kerjanya hanya duduk di depan telpon sambil mengutak-atik HP-nya. Sesekali terdengar suaranya.
“di rumah Gua lagi ada tamu”, katanya dengan dialek Betawi.
“Kedatanganku ke sini mau minta tolong sama kamu, Mun. Aku mau menitipkan si Rika anakku, biarlah ia melanjutkan kuliahnya di sini saja. Kamu kan tahu bagaimana pergaulan di ibu kota besar?. Aku dan Uda sangat mencemaskannya.”
“Jangan khawatir Kak, aku akan menjaganya, kebetulan aku tinggal sendirian.”
Malam itu, di hari ke tiga, tante Mun pulang terlambat. Telpon terus berdering-dering. Kakak iparnya yang ditinggal sendiri di rumah begitu mencemaskan Maemunah hingga tak bisa tidur sampai ia kembali lewat tengah malam.
Pagi harinya tante Mun bangun telat, tetapi ia tak melihat lagi kakaknya berada di rumahnya. Sebuah surat diletakkan di sudut meja kecil.
…Mun, aku harus segera kembali ke Jakarta. Akan kupikirkan lagi niatku itu. Oya, ada pesan dari Om Dodi dan Om Herry; temui mereka nanti malam katanya…
“Astaga!, apa mungkin ia mengetahui pekerjaanku sebenarnya”.
Tante Mun, yang sudah tak asing lagi bagi polisi pamong praja dan sering keluar masuk tempat rehabilitasi itu, terlihat lemas.

Percaya atau tidak...

Karena ditegur tidak boleh memakai sandal jepit di dalam kelas, seorang mahasiswa berani mengacam dosennya.
“Ibuk bisa saya berhentikan.” Ia berbicara keras sambil menunjuk ke arah mukanya.
“…Jangankan Ibuk, dekan pun bisa kami berhentikan”. Lanjutnya sambil emosi.
“Wah, hebat Saudara.” Jawab dosen itu cukup tenang, lalu ia menambahkan.
“Saudara tahu tidak. Untuk menjadi seorang dosen itu cukup sulit. Bagi saya lebih mudah menjadi seorang bupati atau gubernur!”
“Huuh...!, saya tak percaya.” Jawab mahasiswa itu sambil mencibir.
“Oya!. Apakah Saudara pikir saya juga percaya pada kata-kata Saudara?.”
Mahasiswa itu melirik ke kanan dan ke kiri mencari simpati dan dukungan dari teman-temannya. Tapi, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Lalu, ia pergi meninggalkan kelas dengan muka kesal.

Gara-gara barang titipan

Persaingan antar dua keluarga yang saling bertetangga itu sudah lama terdengar. Hal itu terjadi, biasanya bermula dari permasalahan yang sepele hngga sering menjadi suatu keributan.
Keluarga Buk Mai tidak suka kalau tetangganya memiliki barang-barang baru. Keluarga Buk Min, tetangganya, sebenarnya tak berniat memanas-manasi Buk Mai.
Suatu hari Buk Min ketitipan barang milik kakaknya karena mau pindah kontrakan. Sambil menunggu mendapatkan rumah kontrakan baru, ia menitipkan barang-barangnya kepada Buk Min.
Karena Buk Mai merasa iri, ia mendesak suaminya untuk membeli barang-barang baru yang jenisnya lebih bagus daripada yang dibeli Buk Min, pikirnya.
“Wah, banyak sekali belanjaannya, Buk?” kata Buk Min.
“Jangan gitu, ah. Ibu juga!”
“Oh tidak, ini semua hanya titipan kakakku”
“Apa..!”

Kebijakan kabinet 'karo'

Menanggapi terjadinya kenaikan harga BBM, minyak goreng, dll yang terus merangkak, seorang pengamat ekonomi daerah berani berkomentar; bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat tersebut secara serempak hanya dapat dilakukan oleh sebuah pemerintah yang kuat atau yang otoriter. Selain itu, dapat juga dilakukan oleh suatu pemerintahan yang sedang panik.
Seorang wartawan senior mencoba memancing sang pengamat tersebut dengan pertanyaan;
“Kalau begitu, jika memang karena pemerintah kita sedang 'panik' dapat diibaratkan seperti sekelompok kera yang sedang dikejar-kejar harimau. Meloncat-loncat tak menentu.”
“Yaa, secara lahiriah memang agak mirip”. Ia setuju.
“Tetapi, harimaunya bukan harimau Sumatera, kan, Pak.!”. Sambungnya
“Bukan!. Harimau piaraan Amerika, ha ha...”. Ia mengakhiri komentarnya.
"Ooh, kami paham, Pak!". Wartawan itu pun tertawa sambil menyebut salah satu lembaga keuangan internasional.

Pakar instan

Ternyata istilah ‘instant’ saat ini bukan saja populer pada jenis makanan atau mode pakaian tetapi juga pada bidang pendidikan dan keahlian.
“Ceritanya begini…”. Kata seorang petugas protokoler. Lalu, ia bercerita bahwa ada seorang pejabat yang memiliki posisi yang cukup penting di kantornya. Ketika ada diskusi masalah hukum, ia kasak-kusuk menyiapkan waktu agar diberi kesempatan untuk berbicara seolah-olah ia seorang pakarnya di bidang hukum, ketika ada diskusi mengenai otoda, sastra, masalah pendidikan, dan lainya, ia pun turut berbicara seolah-olah ia memang pakarnya di bidang-bidang tersebut.
“Lalu, kalau ada diskusi masalah perselingkuhan?” tanya temannya.
“Sudah pasti lah, ia pun akan turut berbicara seolah-olah pakarnya di bidang persel…., Ah!, yang ini mungkin tidak ikut”. Ia tidak begitu yakin.
“Mengapa?”
“Sebab nanti orang akan berpikir yang tidak-tidak, bukan!”.
“Ooh, lai tahu mah pikiran urang”

Guru juga manusia...

Meskipun Pak Amir Bakri sudah melalukan simulasi bagaimana caranya menghadapi gempa di sekolah yang ia bina, selama 2 kali atau lebih, tapi ia masih juga kebingungan menghadapi gempa yang terjadi akhir-akhir ini di daerahnya.
Pak Bakri adalah seorang wakil kepala sekolah yang telah dipercaya oleh kepala-kepala sekolah SD yang ada kompleksnya untuk membina olah raga, kesenian, dan kegiatan-kegiatan ektrakurikuler, termasuk kegiatan pembinaan dalam menghadapi gempa. Ketika gempa terjadi akhir-akhir ini para guru dan para siswa berhamburan keluar tanpa terkontrol, tidak ada insturksi apa-apa dari pihak sekolah, sebagian berteriak memanggil-manggil namanya. “Mana Pak Bakri, mana Pak Bakri”. Ternyata ia sudah menghilang duluan, entah kemana perginya dengan motornya yang sudah butut itu.
Ternyata, meskipun tuntutan para guru untuk menaikan gaji sudah dipenuhi, tapi yang namanya mental dan prilaku itu ternyata susah diubah.
Keesokan harinya ia datang pagi-pagi sekali dengan cerita-cerita bualannya. Katanya, ia terpaksa pulang cepat karena teringat orang tuanya sudah yang sudah tua itu (ya..yang namanya orang tua itu pasti tidak muda lagi, kan!).
Rupanya anak-anak kelas enam yang merasa sudah akrab itu, serentak menyanyikan lagu dari group Serieus, dengan syair yang sudah ditukar. “Guru juga manusia, punya anak dan mertua, janganlah disamakan dengan kami ini…”. Maka wajahnya pun langsung tampak garang. (Bakri… Bakri sial amat nasib, lhu.)

Minggu, 19 Agustus 2007

Jangan asal pilih panitia

Dalam suatu acara pameran pembangunan daerah yang diadakan di lapangan terbuka, panitia pusat sengaja merekrut para pemuda setempat sebagai anggota panitia keamanan untuk menjaga stand.
Maklumlah, yang namanya panitia amatiran, yang kurang begitu memahami tugasnya masing-masing, seorang panitia menegur panitia lain karena hanya berdiri saja ketika tali rapia pembatas terlepas dilabrak pengunjung.
Oi, waang kan panitia. Calie tu..hah!. Perbaiki, tuh!”.
Mendengar teguran seperti itu ia merasa tersinggung, lalu membalasnya.
Ang indak paralu nyuruh den, karajoan se sorang-sorang.” Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan tempat itu.
Mendengar jawaban yang kurang mengenakkan itu ia langsung mengejar-nya. Perkelahianpun tak bisa dihindarkan lagi. Perkelahian di sana semakin kacau lagi karena kedua panitia itu berasal dari kampung yang berbeda.

Daftar nama sementara

Sore itu, Syahrul pergi melihat pengumuman sementara hasil ujian masuk calon angkatan. Peserta lain pun berdatangan diantar oleh orang tuanya masing-masing. Sementara di dalam kantor tampak orang-orang sedang berkomunikasi dengan bahasa-bahasa isyarat.
Betapa senangnya ia karena namanya ternyata ada pada urutan 34 dari 35 calon yang akan diterima. Maka, segeralah ia pulang ke rumah untuk memberitahukan kepada ibunya.
“Buk, Alhamdulillah aku berhasil!” Teriak Syahrul kegirangan karena ia lulus tanpa mengeluarkan uang pelicin sepeserpun.
“Syukurlah, Nak. Jika ayahmu masih hidup ia tentu akan bangga.”
Air mata sang ibu pun mengalir dari sudut-sudut matanya.
Besok harinya, Syahrul bergegas pergi ke kantor tata usaha untuk mengambil kartu tanda lulus. Namun, apa yang terjadi sungguh diluar dugaan ternyata namanya tidak tercantum lagi dalam daftar nama yang lulus. Tak ada penjelasan yang memuaskan.
“Daftar nama kemarin kan baru sementara, Dek” Jawab petugas piket singkat.

Sabtu, 18 Agustus 2007

Harga sebuah potret

Seorang pedagang gambar asongan mendatangi sebuah kedai nasi di daerah yang cukup rawan kejahatan.
Ia melirik ke sekitar ruangan kedai untuk memastikan apakah di situ sudah ada potret seorang angkatan atau tidak. Ternyata tidak ada.
“Buk, mau beli potret?”
“Potret apaan, tuh?”
“Yang ini kolonel, yang itu brigjen”
“Berapa harganya?”
“Yang ini 20 ribu, yang itu 30.”
“Wah, gagahnya, aku beli yang ini.”
Setelah dibayar ia meminta kepada suaminya untuk memasang di atas dinding menghadap ke pintu masuk. Suaminya pun menyetujuinya. Setiap hari potret itu dipandangi oleh ibu muda itu dengan penuh arti.
“Sudah hebat Uda kini, ya?. Seandainya keluargaku tak menolak lamaran Uda dulu, tentu aku sudah jadi istri kolonel.” Wanita itu berkata dalam hatinnya sambil mengenang kisah cintanya bersama mantan kekasihnya yang kini sudah jadi kolonel itu.

Balada seorang balon walikota

Suasana pemilihan bakal calon walikota kali ini begitu semarak, mengingat olone perekrutannya tidak terlalu ketat lagi. Koran-koran daerah setiap hari memuat foto-foto dan komentar baik dari balon walikota maupun dari para pendukungnya.
Lookman Yasser panggilan akrabnya Pak. Looser adalah salah seorang balon walikota yang turut mencalonkan pada pemilihan itu.
Sebagai ketua sekaligus pendiri yayasan yang kegiatannya tidak jelas itu, ia berhasil membuat sebuah proposal program kerja yang akan disampaikan kepada para anggota dewan.
Penetapan calon diumumkan 2 minggu lagi, karenanya ia mulai sibuk membagi-bagi tugas bersama sopir pribadinya yang merupakan salah seorang pengurus yayasan tersebut.
Setiap hari, dari pagi sampai larut malam tak henti-hentinya ia menemui tokoh-tokoh masyarakat, termasuk para anggota dewan. Sementara, supirnya bertugas mengantarkan surat-surat penting dan membagi-bagikan amplop termasuk untuk para wartawan. Untuk mendanai semua kegiatan ini ia terpaksa menjual 1 rumah mewah dan 2 buah kendaraan milik pribadinya.
Saatnya pengumuman penetapan calon telah tiba. Ia terkejut karena namanya tak tercantum. Rasa ingin marah, kesal, kecewa, dan rasa malu semuanya bercampur dalam dadanya hingga ia sesak nafas dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekat.
“Ayah…, bangun Yaah!”, jerit istrinya histeris.

Si manis jembatan Siti Nurbaya

Biasanya nama-nama stadion, museum, gedung kesenian, dan lainnya identik dengan nama tokoh pahlawan, seniman, dan sejenisnya. Katakanlah gedung kesenian Taman Ismail Marzuki yang ada di Jakarta. Hal ini bertujuan untuk mengenang orang yang dianggap telah berkarya untuk masyarakat.
Seorang wartawan muda dari ibu kota begitu mendengar ada sebuah jembatan yang bernama Siti Nurbaya langsung mendatanginya ke lokasi. Lalu, di sana ia bertemu seorang gadis yang sedang termenung persis berdiri di tengah-tengan jembatan itu.
“Siapa Siti Nurbaya itu, Dik?”, olon wartawan itu. Gadis itu menerangkan bahwa Siti Nurbaya hanyalah seorang tokoh fiktif dalam sebuah novel, hidupnya selalu penuh cobaan dan penderitaan.
“Kenapa orang-orang di sini begitu simpati pada tokoh Nurbaya?”
Wanita muda itu bercerita bahwa dahulu nasib wanita Minangkabau begitu memprihatinkan persis seperti yang pernah dialaminya. Ia pun bercerita tentang kisah dirinya sambil menahan linangan air mata.
“Maaf, boleh tahu nama Adik?” tanya wartawan itu.
“Nama saya Nur.” Jawabnya singkat.
Ketika wartawan itu mau bertanya lagi tentang nama lengkapnya sambil mencatat di sebuah memo kecil, ia tampak kehilangan akal karena gadis itu tiba-tiba saja menghilang.
"Katanya namanya Nur..., Nurbaya?, iichk toloong!"

Kembali ke sifat kanak-kanak

Dua orang ibu-ibu tampak sedang asyik membicarakan kedua orang tua mereka yang sudah manula.
“Akhir-akhir ini aku sering merasa bingung karena ayahku sering merasa iba dan suka marah-marah kalau keinginannya terlambat dikabulkan.”
“Memang kalau sudah lanjut usia kata orang sifatnya akan kembali ke masa anak-anak.” Komentar kawannya.
“Ayahku juga begitu, meskipun sudah lanjut usia akhir-akhir ini ia bernafsu ingin mengambil gelar magister manajemen karena ajakan temannya, padahal kata temanku, yang bekerja di hotel tempat mereka kuliah itu, belajarnya mirip anak sekolah te-ka. Pakaiannya rapi, seremonialnya banyak, kehadiran tak jadi masalah. Malah ada juga pejabat tinggi daerah yang turut serta lengkap dengan pengasuhnya (baca: pengawal).”

Belajar dari alam

Sejak otonomi daerah diterapkan di daerah-daerah kabupaten dan kota madya banyak sekali pemda yang melakukan kerjasama dengan kota-kota di luar negeri dalam program kota kembar.
Seorang bupati didampingi oleh para kepala bironya ikut mengantar rombongan tamu wali kota dari luar negeri meninjau fasilitas-fasilitas umum. Hal ini dilakukan untuk memenuhi standar minimal sebelum penanda-tanganan MOU dilakukan.
“Di sini sedang dibangun bandara internasional, di situ akan dibangun sebuah supermal yang modern.” Kata seorang kepala Biro dengan berapi-api meyakinkan para tamunya.
“Kami ingin tahu bagaimana sistem transportasi, telpon umum, dan tempat rekreasi.” Kata seorang penerjemah.
Lalu, para tamu itupun dibawa berkeliling. Ketika para tamu ingin ditunjukkan pada fasilitas WC umum, kepala biro itu menjadi kebingungan.
“Ya, biasanya penduduk kami melakukannya di bawah pohon atau di sepanjang pantai ini. Kami selalu belajar dari alam.”
“Oya, bagaimana melakukannya.”
Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri kepala biro itu langsung mendekati sebuah pohon sambil membuka seletingnya, kebetulan ia sedang tersesak. Para tamu pun mengikuti dari belakang dan melakukan hal yang sama demi menghormati kebiasaan penduduk setempat pikirnya.

Maklumat untuk Pak Oemar

Setelah menjalani masa peniun sebagai guru SMU, dengan prestasinya yang gemilang itu Pak Oemar mencoba melamar sebagai dosen honorer di sebuah perguruan tinggi swasta. Mengingat golongannya yang memenuhi persyaratan ia diterima sebagai dosen di sana.
Hari pertama, ia langsung dihadang oleh seorang mahasiswa yang matanya merah dan mulutnya bau alkohol. Mahasiswa itu tiba-tiba muncul sempoyongan dari sudut WC sambil berteriak,
“Sore Pak. Ha, ha, Inilah jurus kunfuku”. Ia mengayun-ayunkan tangannya. Sementara kakinya melangkah maju tak teratur.
Pak Oemar berfikir, apakah ia mahasiswa atau preman yang nyasar masuk kampus. Mahasiswa itu menyapa dengan cemoohan.
“Bapak tak perlu pusing, karena kamilah yang menggaji Bapak.”

Sama sama tak puas

Ini kisah tentang seorang sopir yang agak pelit menikahi seorang janda. Perkawinan ini baginya merupakan yang kedua kalinya.
Istrinya yang kedua itu rupanya suka tidur cepat dan pulas. Semula ia menganggap hal ini bukan suatu masalah dan ia berkeyakinan istrinya akan segera berubah kembali.
Minggu-minggu pertama keadaan-nya memang berjalan mulus, tetapi kemudian setiap kali ia meminta sesuatu kepada istrinya ia suka mendesaknya supaya mau berjanji untuk membelikan sesuatu sesuai dengan permintaannya.
“Kalau begini terus sebaiknya aku tinggal di tempat istri pertamaku”. Ia mengeluh. Diceritakakannya, bahwa setiap pulang menyupir angkot ia biasa dilayani istrinya, meskipun tak selalu memberi uang belanja.
“Kalau begini terus aku pun merasa tak betah. Suamiku dulu tidak pelit, selalu membawa sesuatu tanpa harus diminta”. Kritik istrinya.

Orang bagak baru

Di suatu kampung di daerah Panti Pasaman, tinggal seorang preman bodoh yang suka membuat kekacauan warga. Tak seorangpun yang berani menolaknya jika ia memungut uang ‘keamanan’.
Suatu hari karena ia menganiaya seorang pemuda, ia ditahan di Polsek selama satu bulan. Sehabis masa tahanan, ia singgah di sebuah kedai untuk meminta uang. Tetapi, karena orang kedai itu punya seorang anak laki-laki yang baru pulang merantau, ia berusaha menolaknya.
“Lihat, pemuda yang duduk disana.”
“Ya, memangnya kenapa!?”
“Kini kami sudah punya keamanan baru. Jadi, jika ada pengacau di daerah sini pasti akan segera diusirnya.
“Ah, aku tak percaya. Aku akan ke sana, biar dia tahu siapa aku?”
Preman itu berusaha mendekati pemuda yang tubuhnya tidak begitu besar itu. Orang kedai berusaha meyakinkannya dengan berkata.
“Kalau kau tidak percaya, ikuti dia.”
Lalu, katanya agar tak ada orang yang dendam padanya setelah peristiwa penganiayaan itu ia dianjurkan untuk membawa sebuah golok. Lalu, pak kedai menyuruh anaknya untuk mengelilingi kampung itu diikuti oleh preman tersebut. Setelah mereka pulang preman itu ditanya.
“Apa yang kamu saksikan sepangjang perjalanan tadi.” Tanya pak kedai.
“Ya, aku lihat orang-orang pada takut dan berusaha menghindarinya.” Preman itu menuturkan kisahnya.
“Kini, kau harus segera meninggalkan kampung ini, sebelum ia tahu siapa kamu sebenarnya.

Resep agar jadi langsing

Seorang ibu yang kelebihan berat badan merasa tidak puas dengan nasihat dokter untuk mengurangi berat badannya. Kata dokter, ia tak boleh makan gulai santan, makanan berlemak, dan sejumlah makanan lainnya yang merupakan kesukaannya. Ibu itu memang tak bisa mengikuti nasihat dokter. Suatu hari ia pergi ke orang pintar minta petunjuk bagaimana supaya langsing tanpa melewatkan makanan kesukaannya. Lalu orang pintar itu berkata.
“Percuma saja ibu berniat melang-singkan tubuh, sebab usia ibu kurang lebih tinggal tiga minggu lagi.”
“Mendengar keterangan itu ibu gemuk itu terkejut dan langsung pulang ke rumah.”
“Kalau tahu begini kenapa aku pergi ke orang pintar. Aku tak ingin mati.” Ibu itu sepanjang hari mengurung diri tidak bisa tidur selera makan pun hilang gara-gara memikirkan usianya yang tinggal beberapa minggu lagi.
Setelah hampir tiga minggu mengurung diri, ia tampak kurus sekali. Pada hari ke 21 ternyata sang maut tak jadi menjemputnya. Dua tiga hari berlalu ia pun masih tetap hidup. Lalu ia pergi ke tempat orang pintar itu, sambil mengeluarkan kata-kata carutnya.
“Dasar pembohong. Katanya aku akan mati dalam waktu 3 minggu. Lihat badanku jadi begini gara-gara memikirkan ucapanmu!”
“Ya, syukurlah kamu masih hidup, tapi kamu harus lebih bersyukur lagi karena kamu kini sudah menjadi langsing.” Ibu itu baru sadar bahwa menjadi langsing adalah permintaanya.

Lajulah diskotikku

Panas, berhimpit-himpitan, musik mengalun dengan kerasnya. Diskotikku meluncur membelah terik matahari siang. Dengan karung terigu di tangannya Pak tua berteriak-teriak sambil membalikkan badan dan menyelip di antara himpitan manusia menuju pintu belakang belakang.
Siko cie, siko cie” (di sini berhenti!).
Pak tua berteriak sambil batuk-batuk. Diskotikku berhenti bukan pada tempatnya.
Pakak mah!”. (budeg kamu, ya) Ia mengupat.
Bukan supirnyo nan pakak, Gaek. Musiknyo tu nan kareh.” (Musiknya terlalu keras) Celoteh seorang pemuda gondrong.
Pak tua turun sempoyongan, lalu menginjakkan kakinya di trotoar yang berlumpur karena sedang ada proyek penggalian kabel.

Kalau ustad jangan membual

Di suatu kampung kecil di daerah Solok terkenal ada seorang pemuda yang pandai membual. Karena tak ada lagi orang yang belum ia dikerjain, ia pergi menemui seorang ustad.
“Ustad, coba ingat-ingat; siapa lagi orang yang belum aku kerjain.”
“Aku tidak tahu, Nak. Sehari-hari aku hanya memikirkan nasib rakyat kecil. Aku baru saja melihat ada sekelompok anak yang sedang makan daging ayam yang sudah mati.”
“Di mana itu, Ustad?”
“Di lapangan mushola, sana?”
Pemuda itu pun segera pergi ke lapangan itu. Tetapi, tak ada orang yang sedang makan daging ayam mati, kecuali tukang sate Madura. Besoknya ia sengaja mencegat ustad itu di depan gerbang mushola.
“Ustad. Kenapa ustad membual?’.
“Aku tidak membual. Bukankah kamu lihat anak-anak di depan tukang sate?. Apa yang mereka lakukan, coba?”.
“Hemm. Betul juga kata ustad. Wah, Rupanya aku yang dikerjain…”

Cara baik Bung Hatta

Pada suatu hari, seorang pegawai pergi berlebaran menemui atasannya. Karena atasannya sedang keluar rumah ia ditemani oleh istri dan anak gadisnya.
“Kamu tidak pulang ke Jawa, Joko?”. Tanya istri bosnya.
“Tidak, buk. Saya baru saja pulang bulan lalu. Rasanya kalau pulang lagi hanya pemborosan saja.”
“Bagus, Nak. Bapaknya anak-anak juga selalu mengajarkan hidup hemat, disiplin, dan sederhana.”.
“Bapak itu pengagum Bung Hatta, ya Buk?”
“Ya. Kamu juga tahu kan bagaimana pergaulan Bapak sehari-hari di kantor?”
“Ya, betul. Tapi, ada satu hal yang tampaknya sulit dilakukan Bapak.”
“Apa itu, Nak?”
“Nampaknya Bapak belum berminat mengambil menantu orang Jawa.”
“Eh, siapa bilang. Bapak malah sering menyebut-nyebut nama Joko, rupanya kamu orangnya, ya.”
“Benar, Buk”. Ia tampak malu-malu.

Mana kunci kamarku?

Sekelompok aktivis mahasiswa berkumpul di sebuah kamar kost pada malam hari. Mereka sedang merencanakan suatu aksi demo yang akan dilakukan di kampus.
Rapat berakhir pada tengah malam. Lalu mereka bubar menuju tempat tinggalnya masing-masing. Seorang mahaiswa yang dikenal paling vokal memutuskan untuk menginap di tempat kawannya karena tempat tinggalnya terlalu jauh dari tempat rapat.
Besok harinya aksi demo digelar pada siang hari. Mahasiswa yang paling vokal itu terlihat berapi-api melontarkan kritikannya pada rektor. Kawannya, yang semalan diinapi kamarnya, setia menunggu persis di depan podium tempat ia berpidato. Setelah selesai mahasiswa itu menghampiri kawannya.
“Aku kira kamu tidak suka demo, ternyata suka juga". Ia merasa tersanjung, lalu berkata lagi sambil memperhatikan reaksi wajah kawannya,
"Bagaimana pidatoku tadi?”
“Sorry, aku kurang memperhatikannya. Aku mau ambil kunci kamarku, mana?”
“Ooh. Oya, sorry aku lupa. Ini..!.”

Menghadapi serangan Amrik

Dua orang gila setengah telanjang duduk-duduk di teras sebuh toko di daerah Lapai. Salah seorang di antaranya menuturkan kejadian yang dialaminya.
“Semalam aku pergi ke negeri jin di Bagdad”.
“Wah, hebat. Apa yang kamu lihat?”
“Aku lihat pasukan jin Irak sedang siap-siap menghadapi serangan Amrik.
“Hmmm…!”. Tanpa komentar apa-apa.
“Kenapa?”. Ia kurang puas.
“Bukankah Amrik itu telah hancur oleh Irak beberapa tahun yang lalu”
“Oh, iya ya, ternyata kamu sudah sembuh”
“Kamu juga sudah”
“Asyiiik, ha ha ha….!”. Meraka tertawa sepuas-puasnya.

Jumat, 17 Agustus 2007

Tangisan seorang ustad cilik

Selama bulan suci Ramadhan biasanya mesjid-mesjd ramai dikunjungi jamaah. Para ustad pun sibuk dibuatnya. Tak terkecuali ustad cilik, mereka pun ikut memeriahkan ceramah tarawih.
Suatu ketika, Ada seorang ustad cilik yang baru berumur 7 tahun, ia diminta mengisi ceramah di suatu mesjid di komplek pensiunan. Ketika memberikan ceramah ia lupa pada ayat-ayat Al-Quran yang sebelumnya sudah dihapalnya. Ia berusaha mengingatnya dengan mengulang-ulang bagian depan ayat tersebut. Akhirnya, ia menyerah, tidak dapat melanjutkan ceramahnya. Lalu terdiam dan akhirnya tak bisa lagi menahan tangisannya. Ia pun turun dari mimbar dan langsung duduk sambil menunduk.
Seorang gharim yang sudah manula berdiri lalu mengambil mikrofon.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, hadirin semuanya, saya begitu terharu. Subhanallaah… Kita, yang sudah tua-tua ini saja belum tentu bisa mengeluarkan air mata ketika kita membaca ayat-ayat suci Al-Quran...” Komentarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Lalu anak kecil itu pun berusaha membuang rasa malu sambil mencoba melihat wajah gharim yang memuji-mujinya terus.

Jalan yang lurus jangan diabaikan

Pernah ada seorang pegawai negeri rendahan dari luar daerah yang pindah karena ikut suami, bertanya; mengapa orang-orang di sini suka sekali memakai kata simpang?. Disebutkannya beberapa nama toko, rumah makan, hotel, dan sebagainya yang diawali kata simpang.
“Karena di setiap persimpangan itu banyak orang suka berkumpul.” Jawab seorang bapak yang sudah cukup umur.
“Karena kalau kita lewat jalan simpang bisa lebih cepat.”. jawab seorang pemuda. Bermacam-macam jawaban didapatkannya, tapi tak ada satupun yang dapat meyakinkannya.
“Kalau begitu mengapa orang-orang kurang suka melalui jalan yang lurus?”. karyawati muda itu bertanya lagi.
“Karena terlalu banyak lampu merahnya, sehingga lama sekali sampai di tujuan.” Jawab pemuda tadi.
“Oo, begitu.” Jawaban itu mengingatkan pada nasib dirinya dan beberapa kejadian yang pernah dialaminya selama mengurus penempatan kerjanya.

Mimpi seorang bujangan

Seorang pemuda kampung duduk di bangku lapau emaknya. Kadang ia suka menghayal, bahkan sering ketiduran sambil mimpi indah.
Suatu hari ia diminta untuk mengobati penyakit seseorang. Dengan kepandaiannya ia mau menolong asalkan jika sembuh nanti ia dinikahkan dengan anaknya yang tercantik di kampung itu.
Penyakit orang itupun dapat disembuhkan. Ia dinikahkan dengan anaknya.
Pada malam pengatin itu, istrinya segera mengajak masuk kamar. Tetapi, karena ia suka berkawan ia merasa segan jika meninggalkan kawan-kawannya yang sedang bermain domino..
Tiba-tiba hujan turun. Dari jauh terdengar suara emaknya memanggil.
“Yuang, yuang..!, orang mau belanja, tu. Bangun.”. Ia pun terbangun.
Selama beberapa menit ia hanya termenung saja seperti menyesali sesuatu.
“He!, mengapa kau melamun terus.” Tanya ibunya kesal.
“Seandainya tadi aku penuhi dulu ajakan istriku aku tak menyesal, meskipun diguyur dengan air oleh Amak.”

'Tuntutlah ilmu' sebelum ke negeri Jiran

Ini pembicaraan antara Mutiara seorang wanita yang baru pulang dari Malaysia dengan para wanita yang mau berangkat kerja ke sana.
“Mengapa kau tampak kurus, Mut?”
“Gimana tidak kurus…” jawabnya. Lalu ia menceritakan kisahnya selama di Malaysia. Ia melarikan diri, karena majikannya terlalu resek dan gata (gatal). Tapi, karena paspornya ditahan oleh majikannya ia tidak bisa pulang. Dua hari kemudian, ia ditangkap polisi, dengan tuduhan mencuri. Ia lebih memilih menerima hukuman cambuk daripada harus kembali menjadi objek pelecehan sex majikannya, akhirnya ia dikenai hukuman cambuk.
“Hukuman cambuk itu sakit, ya?”
“Ya. Pernahkah kamu lihat pak kusir mencambuk kuda?. Ya, kira-kira seperti itulah”.
“Apa yang harus kita lakukan, bila nasib kita seperti itu, ya?” para wanita itu mulai gelisah.
“Supaya kebal, kalian harus ‘menuntut ilmu’ dulu, sebelum berangkat”.

Katanya...

“Bu! Nenek moyang kita hebat-hebat ya, Bu!”
“Memangnya mereka itu, kenaapa?”
“Katanya mereka dapat berlayar dengan sampan sampai ke Mandagaskar”
Kata seorang anak murid SD sambil menutup sebuah buku cerita. Lalu ia berdiri menghampiri ibunya.
“Iya, katanya memang begitu, nak”, kata ibunya sambil menarik anaknya duduk di pangkuannya.
“Wah ternyata ibu juga sudah tahu”, kata anak itu sedikit kagum.
“Iyalah. Tapi yang ibu dengar katanya mereka terdampar, karena tak memiliki peralatan khusus, bahkan sebagian besar ada yang tenggelam. Lalu, karena banyak yang tak bisa kembali akhirnya mereka terpaksa menetap di sana…”
“Jadi karena terdampar ya, bu?”
“Itu juga katanya, Nak”

Minggu, 12 Agustus 2007

Lain lubuk lain ikannya

Seorang peneliti binatang dari Belanda yang pernah belajar bahasa Indonesia. Menemukan satu ungkapan dalam bahasa Minang yang berbunyi ‘Lain lalang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’,. Karena merasa tertantang ia sengaja pergi ke Padang untuk mencari belalang dan ikan yang menurutnya tiap tempat berbeda-beda.
Lalu, bertanya kepada sopir taksi.
“Apakah disini ada lubuk, you tahu?”
“Lubuk Buaya, Tuan?”
“Ya, ya, lubuk buaya juga boleh”
Lalu sopir taksi membawanya ke daerah Lubuk Buaya. Orang bule itu minta berhenti di dekat sungai.
“Di sini lubuk buaya?”
“Ya, benar. Sudah sampai”
Lalu ia turun dan berjalan menelusuri sungai itu. Ketika berhenti di dekat air terjun ia sangat terpesona menyaksikan buaya-buaya sedang mandi, ada juga yang sedang duduk di atas batu”
“Wonderful, cantik-cantik buayanya. Buaya di sini berbeda, benar-benar mirip manusia”.

3+1=0 (masa iya...?)

Si Kempes namanya, seorang sopir tembak, kena tilang di perempatan lampu merah. Ia meluncur deras ketika lampu merah sudah menyala. Tiba-tiba saja, di seberang jalan seorang polisi lalu-lintas berkulit hitam mencegatnya.
Priit, priiit!,” bunyi peluit memekik.
Ia mencoba menyogok dengan uang 30 ribu, namun polisi itu menggelengkan kepala.
“Masih kurang 10 lagi” katanya.
Supir yang naas itu pun disuruhnya untuk mengambil sisa uang sogoknya hingga genap menjadi 40 ribu.
Namun apa yang terjadi, si Kempes pergi memanggil dan mengutus mamaknya yang bekas mayor dan kebetulan tinggalnya dekat TKP, untuk menyelesaikan kasusnya.
“Bisa Ambo minta tolong, Nak…”
“Siap, Pak.” Jawab polisi yang pernah menjadi muridnya itu. Setelah sedikit ada perbincangan lalu sang polisi itu membungkuk-bungkuk.
“Ini STNK-nya, pak. Saya minta maaf, pak. Kami tidak tahu kalau ia kemenakan Bapak.
“Matilah, kau. Indak dapek apo-apo”, upat si Kempes yang memantau dari ujung seberang jalan.

Menggali lobang Jepang

Ketika musim libur sekolah tiba. Seorang anak SD kelas 3 diberi tugas mencatat bukti-bukti peninggalan sejarah di waktu masa lampau. Anak itu diantar oleh ayahnya dari sebuah kampung kecil di daerah Umbilin Sawah Lunto dimana mereka tinggal.
Ketika mereka tiba di Bukittinggi, anak itu langsung bertanya.
“Mengapa lobang Jepang dibuat?”
“Untuk melindungi serangan dari pihak Belanda”, jawabnya singkat.
“Nah, kalau lobang yang sedang digali dekat kebun kita itu, untuk apa?”
Lalu, bapaknya teringat bahwa di dekat kebunnya yang kaya tambang batubara itu ada sebuah pabrik pengolahan tambang milik asing. Banyak orang Jepang tinggal di sana. Lalu, dicarilah jawaban yang mudah dipahami anaknya.
“Mereka sedang menggali kuburan temannya yang belum ditemukan”.
“Mengapa digali di sana, Pak?
Bapaknya tak mau kehilangan akal.
“Kalau di sini, terlalu ramai, banyak pengunjung.”
Huuh...!.Cape deech.

Saya memang tidak tahu

Seorang mahasiswi kepergok sedang asyik menyontek buku catatan kuliah, yang ditaruh di bawah rok pendeknya, pada waktu ujian. Maka, ujiannya terpaksa dibatalkan dan setelah ujian selesai ia langsung ditanya oleh salah seorang pengawas.
“Mengapa kamu tadi menyontek?. Tahukah kamu bahwa selama ujian ini tidak boleh lihat catatan?”, seorang pengawas bertanya secara bertubi-tubi.
“Sudah tahu, Pak”.
“Kalau sudah tahu mengapa berbuat nekad seperti itu?”
“Saya tidak tahu…”
“Tapi, katanya tadi sudah tahu?”
“Ya, saya memang tidak tahu, kalau Bapak sedang melihat saya.”, jawabnya santai.
“Nah, kalau bukan saya yang lihat?”
“Biasanya Bapak yang lain senang kok Pak, melihatnya”. Ia mengakui secara blak-blakan.
Ssst, jangan keras-keras, nanti jadi masalah”.

Maling ‘takut’ teriak maling

Tiga orang pegawai bawahan tampak asyik membicarakan atasannya di sebuah kedai nasi di depan kantor mereka.
“Kenapa dia tidak pernah dimutasi, padahal saya sudah melaporkan kelakuannya yang tidak terpuji itu kepada pimpinan.”
“Dulu aku juga pernah melaporkan, tapi tak pernah ada tindakan.” Sambung kawannya. Lalu, pegawai yang satu lagi turut berkomentar.
“Kata orang bijak; ada empat kemungkinan yang terjadi jika seorang atasan enggan menindak bawahannya; pertama jika bawahannya itu masih ada hubungan famili. Kedua, jika ia banyak berutang budi pada bawahannya. Ketiga, jika bawahannya banyak tahu tentang rahasia kejelekan atasannya. Keempat, jika atasannya memiliki watak buruk yang sama dengan bawahannya. Jadi, kira-kira yang mana.?”
“Hem…. Nah, yang terakhir itu kali..Heh …he.!”
“Syah cie luh!”, mereka serempak mengangkat dan menepukkan tangan.

Tak perlu jemput marapulai

Ada kisah sedih yang menimpa sepasang pengantin di daerah Pariaman. Meskipun acara akad nikah sudah selesai. Si marapulai tak diizinkan oleh keluarganya menemui anak daro karena uang jemputannya kurang. Sementara itu, di tempat anak daro (pengantin wanita) sudah dipersiapkan acara penyambutan keluarga dari bako. Alangkah malunya, jika si marapulai tak ias dihadirkan.
Setelah berunding disepakatilah bahwa keluarga marapulai mau memin-jamkan anaknya untuk acara tersebut.
Setelah acara penyambutan selesai, anak daro dengan tegas berkata:
“Kalau kamu mencintaiku, tetap tinggal di sini. Tapi, kalau kamu takut pada mamak-mamak kamu tak usahlah temui aku lagi.”
“Abang pergi sebentar saja. Nanti segera kembali.”, janji si marapulai.
Ternyata janjinya ditepati. Dengan berpura-pura jadi gila karena ingin bertemu dengan istrinya, keluarga marapulai akhirnya merelakannya.

Menghindari kutukan roh Malin

Dahulu kala, di suatu ias g di daerah pesisir selatan ada seorang pemuda yatim bernama Malin. Karena dirantau gagal, ia pulang kampung dan bermaksud mau menikahi pacarnya yang sudah lama menunggu-nunggu. Karena tak punya biaya terpaksa ia menjual seluruh harta emaknya.
Setelah menikah si Malin jadi sukses, namun ia lupa pada emaknya. Pendek cerita, karena jadi anak durhaka ia kena kutukan emaknya sehingga menjadi batu.
Karena matinya penasaran, roh si Malin suka mengganggu dan merasuk ke dalam tubuh calon marapulai. Sehingga, sejak saat itu banyak kejadian aneh-aneh yang sering menimpa calon marapulai (pengantin pria).
Untuk menghindari kutukan-kutukan si Malin para pemuda di sana biasanya secara suka rela berkumpul pada malam-malam menjelang dan sehabis pernikahan dengan mengadakan pesta judi dan mabuk-mabukkan, hal ini dilakukan sesuai dengan kebiasaan si Malin waktu ia masih hidup.

Pedagang nasi yang intelek

Di sebuah kedai nasi di depan gedung DPRD, dua orang ibu-ibu muda sedang mengobrol tentang kegiatan demo yang baru saja dilakukannya.
“Payah sekali, masa tak ada yang mendengar aspirasi kita!”
“Yah, mana lapar lagi, masa cuma dapat satu gelas Aqua. Mana harus ngangkat-ngangkat spanduk lagi.”
“Sebenarnya, saya tak tertarik berdemo-demo, tapi karena menyang-kut nasib anak-anak kita, ya saya jadi mau.”, kata temannya.
“Masalahnya bukan itu, ibu-ibu”, sela ibu tua pedagang nasi itu.
“Tadi pagi guru-guru sekolah berdemo minta kenaikan gaji, sekarang para orang tua siswa berdemo minta penurunan biaya sekolah. Nah, yang satu minta naik yang lain minta turun, Lalu, uang siapa yang rela dipakai untuk menutupi biaya pendidikan?. Tentu, para anggota dewan jadi pening?”
“Betul juga, kata Amak, tuh!”, balas ibuk yang satu lagi sedikit polos.

Bukan istri ke dua

Di sebuah penginapan yang cukup tenang, seorang pejabat yang baru saja naik daun kepergok sedang bermesraan dengan seorang wanita. Saat itu, kebetulan ada seorang wartawan yang sedang bertugas di daerah tersebut.
“Selamat, Pak. Sekarang Bapak sudah berhasil.”
Wartawan itu menyalami seorang pejabat pusat yang tidak begitu dikenal oleh warga asalnya. Lalu, sambungnya.
“Ini ibuk, Pak?. Selamat ya, Buk.”
Selama kurang lebih satu jam mereka berdiskusi tentang otonomi daerah.
Beberapa hari kemudian, sehabis upacara ‘Batagak Panghulu’ di daerah asalnya, para wartawan langsung mendekati seorang datuk yang baru saja dinobatkan itu.
“Bagaimana perasaan Bapak saat ini, Pak?
“Saya dan seluruh keluarga merasa senang. Tak terkecuali istri saya ini”
“Ini, istri…Bapak, Pak?”. Tanya salah seorang wartawan.
“Ya!”, dijawab dengan pasti.
“Lalu…, yang dulu itu siapa?”
“Dulu yang mana?. Saudara ini kerjanya nge-gosip saja”.

Jarang terkicuh lagi

Seorang dosen sebuah universitas swasta di Padang terlihat dengan tenang menanyai mahasiswanya yang tidak mengerjakan PR.
“Kenapa Saudara tidak mengerjakan PR?”
Mahasiswa itu menjawab dengan enteng,
“Wah, tertinggal di rumah, Pak”
“Kalau begitu, ambil dulu, baru Saudara diperbolehkan masuk”
Mahasiswa itu, mengerutkan dahinya mencari alasan lain supaya tidak disuruh pulang,
“Maksud saya tertinggal…”
“Tertinggal di kampung, kan?”
“Kok, Bapak tahu?”
“Ya, dengan alasan seperti itu kami sering terkicuh”
“Kok, Bapak menuduh saya berdusta?”
“Ya, dengan cara begitu, kalian tak bisa mengelak ladi, dan saya jarang terkicuh lagi.”

Saya bukan wanita

Ada kebiasaan di sebagian kalangan remaja Minang, yaitu sehabis syahur suka beramai-ramai menuju pantai menyongsong terbitnya sang fajar.
Seorang remaja bertubuh langsing sengaja mencegat kakaknya yang baru saja selesai sembahyang subuh.
“Kak, biar saya bawakan kain telekungnya (mukena).”
“Wah, baik sekali, kamu. Kebetulan kakak mau singgah ke tempat kawan”
Tak berapa lama pria remaja itu menghilang di tengah remang-remang pagi yang masih gelap. Diam-diam ia menyelinap ke dalam rombongan gadis-gadis yang sedang menuju pantai. Namun, ketika ia berada diantara tiga gadis yang masih mengenakan kain telekung, terdengar suara mereka seperti sedang berbisik-bisik.
“Kita dapat satu, nih.”
Lalu mereka memegang bagian-bagian tubuh remaja itu.
“Tolong lepaskan,Bang. Saya bukan wanita, Bang!”

Tetap saja terlambat

Dalam suatu jamuan resmi di sebuah aula di kantor gubernuran, seorang tamu dari luar daerah mengupat-upat karena para undangan yang hadir baru sedikit.
“Wah, kalau selalu terlambat kapan kita bisa maju?”
“Sabar saja, Pak.”, kata seseorang yang berdiri di sampingnya.
“Ya, beginilah kalau tidak mau disiplin. Sekali-kali bagaimana kalau pak Gubernur hadir duluan.”
“Tetap saja terlambat, Pak. Penyakit orang kita memang sudah parah”
“Ya, gubernurnya kasih contoh, dong. Biar orang-orang pada ngikut.”
“Sudah. Sudah saya kasih contoh. Saya sendiri gubernurnya, kok”
Haah…!”

Tolong sekali ini saja

Seorang sopir angkot sedang berusaha membujuk seorang polisi agar SIM-nya tidak diambil. Polisi itu dengan garangnya berkata,
“Tahu, tidak kesalahan kamu?”
“Tidak, Pak. Rasanya saya tidak melanggar.”
“Coba hidupkan lampu sennya. Tidak nyala, kan?”
“Tolong, sekali ini saja, Pak. Nanti saya perbaiki”
Si sopir itu terlihat membungkuk sambil memohon. Lalu polisi itu berkata lagi.
“Saya juga telah menegur kawanmu kemarin, dia juga berkata: Tolong sekali ini saja. Besok-besok kalian juga akan berkata begitu lagi, kan”?
“Saya kan bilang sekali ini saja, lagian kenapa bapak tidak tilang dia kemarin?”
“Pokoknya, saya ambil SIM-nya supaya besok kalian bisa selamat sehingga 'tak perlu minta tolong' lagi”.

Anggap saja anak sendiri

Seorang ayah yang menduda gara-gara ditinggalkan istriya pergi bekerja di Malaysia, berkata kepada sahabatnya yang sama-sama menduda.
“Saya akan pergi ke Jawa, untuk beberapa lama. Kamu sudah saya anggap sebagai adikku sendiri. Jika nanti anakku memerlukan sesuatu tolong perhatikan, ya.”
“Tenang sajalah, Uda. Jangan terlalu dipikirkan. Selama ini, kita sudah seperti keluarga.”
“Ya, saya percaya, Kamu tak akan mengecewakan anakku”.
Enam bulan kemudian, ibu anak itu dideportasi dari Malaysia. Wanita itu kini terlihat lebih cantik. Anak itu berniat untuk tinggal bersama ibunya. Namun, sebelum berpisah dengan ayah angkatnya, ia memohon sambil berkata.
“Maukah, Apak menikahi ibu saya?”
Setelah mengingat-ingat pesan kawannya, bahwa ia tak boleh mengecewakannya, sepontan ia menjawab.
“Ya, apa boleh buat jika kamu yang meminta, Nak.”

Tak mau dipermalukan lagi

Alkisah, dahulu ada satu kerajaan dari pulau Jawa yang pernah dipermalukan karena mereka ditolak pinangannya oleh salah satu keluarga di Minangkabau. Mereka katanya pernah membawa seekor kerbau besar sebagai hadiah tunangan, namun karena kerbaunya kalah dalam sebuah pertandingan dengan seekor kerbau kecil, maka acara pertunangan itu menjadi gagal.
Kini salah satu ketururannya datang lagi dengan membawa seekor kera yang sudah terlatih, sehingga bila kera itu disuruh melakukan atau meniru perbuatan seseorang maka langsung saja ia memperagakannya.
Pertandinganpun dimulai. Ronde pertama, kera dari Jawa membawa sebuah gerobag kecil lalu berputar-putar dengan lucunya. Lalu tibalah giliran kera dari Minang. Dengan sekejap mata ia naik ke atas batang pohon kelapa dan melemparkan buah-buahnya ke tempat atraksi kera tadi. Seluruh peralatan yang belum sempat semuanya digunakan itupun hancur.
Kera dari Jawa itu melarikan diri ke tengah hutan. Kali ini pun, gagallah acara pertunangan antara kedua keluarga keturunan raja dari Jawa dan Minang tersebut.

Jumat, 10 Agustus 2007

Boleh Minta Satu Lagi

Seorang ustad muda sedang membagi-bagikan kupon daging kurban kepada para pengemis di sekitar Mesjid Raya di daerah Bukittinggi.
“Nah, ini Pak!, tolong terima kertasnya”
“Untuk apa, kertas ini, Nak. Ini, bukan uang!”. Orang tua itu hampir saja merobek kertas kupon tersebut.
“Jangan jangan, Pak. Kalau tidak perlu biarlah kami kasihkan kepada yang lain”.
Lalu, Pak tua, bertanya kepada kawannya yang usianya masih muda tapi terlihat agak kumuh,
“Kertas apa tadi, tuh?”
“Kupon daging kurban, Gaek. Lumayan setengah kilo”
“Yang benar. Eh, Nak!, mana kertas tadi, tuh. Jangan dikasih sama orang lain, ya.”
“Aman, Gaek”, jawab ustad sambil tersenyum. Setelah ustad itu mendekat. Pak tua itu berbicara agak pelan.
“Masih ada ndak satu kertas lagi, Nak?”

Penyakitnya Sama


Seorang calon pengantin wanita yang tinggal di suatu daerah di pinggiran kota Pariaman ingin sekali memper-lihatkan kamar pengantin yang baru dihiasnya kepada para tetangganya.
Supaya maksud tersebut tercapai, ia sengaja pura-pura sakit agar dikunjungi para tetangganya. Seorang tetangga wanita yang kebetulan suaminya baru pulang dari rantau ingin pula memperlihatkan perhiasan yang baru dibelikan suaminya kepada tetangganya. Maka, kesempatan pertama adalah mengunjungi calon pengantin yang sedang sakit itu. Ketika tangan wanita itu memengang dahinya terdengar bunyi-bunyian gelang yang saling beradu bagaikan bunyi uang logam, lalu ia berkata:
“Wah, rupanya calon anak daro sedang sakit, apa penyakitnya, Piak!
Ditanya seperti itu ia hanya terpesona sambil, menatap gelang, cincin, dan kalung yang dipakai tetangganya itu, barulah ia menjawab:
“Nampaknya penyakit kita sama, Ni

Minggu, 22 Juli 2007

ortopedagogik plb

pmoi adalah organisasi mahasiswa plb se indonesia

cidurian

abdi ayeuna keur di cidurian

BUKA USAHA

ONHBJKMHKNIH